oleh

Tragedi Rempang & Empati Para Pemimpin Kita

Kasus Rempang makin menjadi-jadi sampai saat ini. Sesuai info di media massa, rakyat Rempang tak bersedia direlokasi ke tempat lain sebagaimana disiapkan BP Batam dan Pihak2 berwenang disana. Artinya, kesepakatan antara rakyat yang sudah turun temurun menempati lahan yang akan dijadikan proyek investasi Rempang Eco-City (Proyek Strategi Nasional – PSN) tersebut belum terwujud secara utuh.

Proyek besar yang “menggusur” lahan besar (7572 ha) atau sekitar 45,89% total luas pulau Rempang 16.500 ha tersebut, dikerjakan oleh PT. Makmur Elok Graha (MEG) dan ditargetkan bisa menarik investasi besar.
Ada 7000 sd 10.000 jiwa warga yang harus direlokasi ke lahan yang sudah disiapkan.

Warga dari 16 kampung Melayu di Rempang tersebut menolak relokasi dan pada 7 September 2023 berujung bentrok dengan kepolisian. Akibat bentrokan tersebut, 43 warga ditangkap polisi, karena dianggap sebagai Provokator.

Mahfud MD menyatakan bahwa kasus Rempang adalah proses pengosongan lahan, bukan penggusuran, karena HGU sudah dimiliki oleh PT. MEG secara resmi sejak 2001-2002. Namun tanah tsb tak ditempati investor dan tak pernah dikunjungi.

Walhasil, lahan tersebut ditempati penduduk. Berdasarkan info Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, lahan tersebut sudah ditempati warga sejak 1834 secara turun temurun. Secara sepihak, Pemerintah mengeluarkan HGU kepada entitas perusahaan dan itu juga dinyatakan Mahfuf sebagai sebuah kekeliruan dari Kementerian LHK.

Artinya, ada permasalahan yang harus dituntaskan secara benar dan baik sebelum pihak kepolisian melakukan tindakan yang berdampak kepada kemarahan massa Rempang tersebut.

TAK ADA ASAP, JIKA TAK ADA API

Amuk dan kemarahan warga yang begitu massif dan agresif terkait “penggusuran” oleh pihak kepolisian secara demonstratif tersebut, tak bisa kita salahkan sepenuhnya kepada masyarakat setempat. Pemerintah seharusnya menuntaskan dan menyelesaikan permasalahan yang kompleks tersebut secara musyawarah bersama perwakilan warga yang terkena dampak proyek raksasa tersebut.

Tak bisa Pemerintah dengan segala perangkat pendukungnya melakukan tindak kekerasan (walau berdasarkan aturan hukum) dengan aksi2 sepihak yang membuat amarah warga semakin memuncak.

Sungguh sangat disayangkan, Pemerintah Pusat dan Daerah tak melakukan koordinasi, komunikasi dan penyatuan persepsi terkait kasus Rempang untuk mencari solusi terbaik. Ada kesan para Pemimpin tak memiliki rasa empati dan hati nurani atas permintaan dan tuntutan warga yang harusnya dipahami, dirundingkan dan disepakati bersama.

Preseden buruk dalam menangani tragedi dan kasus Rempang secara kekerasan oleh Pemerintah melalui aparat kepolisian menunjukkan, sikap otoritarianisme dan kesewenang-wenangan selalu menjadi andalan utama dalam menyelesaikan setiap permasalahan dengan rakyatnya.

Konstitusi negara UUD 1945 Pasal 28A Jelas2 menyebutkan: “Setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Artinya, setiap perlawanan atau penolakan warga atas hak mereka, apalagi tanah yang sudah ditempati secara turun temurun, tak bisa secara sewenang-wenang “digusur” oleh Pemerintah.

Bangsa kita yang konon sangat menjunjung tinggi nilai2 etika moralitas dan keberadaban, memiliki landasan filosofi yang yang sangat luhur dan mulia, yaitu Pancasila.

Jika kita kaitkan tragedi Rempang dengan sila2 Pancasila, ada 2 sila yang telah dilanggar: Sila kedua tentang Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Sila keempat tentang Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Artinya, penanganan dan penyelesaian kasus Rempang oleh Pemerintah bersama perangkatnya telah memarjinalkan aspek2 Adil, Beradab dan Musyawarah sebagai variabel penting dari kedua sila Pancasila tersebut.

Kita tak ingin kasus2 seperti Rempang terjadi lagi di manapun di wilayah NKRI. Mari hormati hak2 ulayat rakyat yang sudah turun temurun, lindungi masa depan rakyat, tingkatkan kesejahteraan rakyat, utamakan penyelesaian secara ber-etika dan beradab melalui musyarawah untuk mencapai kesepakatan bersama.

Investasi adalah hal penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja. Namun, penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi dan tanah milik rakyat yang sudah turun temurun, jauh lebih penting dan menggambarkan Nasionalisme Para Pemimpin Bangsa!

“Pemimpin berpikir dan berbicara tentang solusi. Pengikut berpikir dan membicarakan masalah.” – Brian Tracy

Bekasi, 17 September 2023

Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemikir Sosial dan Kebangsaan)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed