Oleh : Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Demokrasi, Hukum & Ketenagakerjaan)
KECAMUK dan karut-marut pencalonan Gibran sebagai Cawapres Prabowo masih belum selesai. Mahkamah Kekormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) masih berproses untuk bisa membuat Putusan seadil-adilnya dan sesuai harapan mayoritas masyarakat terkait kisruh Putusan kontroversial tentang penambahan norma oleh Hakim2 MK. Tiga Anggota MKMK ditantang untuk berani membuat Putusan terbaik yang bisa kembali menegakkan hukum dan demokrasi yang baik dan benar di negeri ini.
Usai diangkat dan dilantik Ketua MK, Prof Jimly dan dua orang anggota MK lainnya mengebut rapat2 dan proses pengadilan sesuai mekanisme dan prosedur beracara MKMK. Sebagaimana diberitakan sejumlah media massa, tim MKMK akan memutuskan selambat-lambatnya tanggal 07 November 2023, dimana sesuai aturan KPU, perubahan dan pergantian Capres-Cawapres paling lambat dilakukan pada tanggal 08 November 2023.
Artinya, jika Putusan MKMK memberhentikan Hakim2 MK (beberapa orang atau seluruhnya), maka akan berdampak kepada status putusan MK terkait usia Capres-Cawapres dan norma baru “sedang atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah”.
Hal ini tentu saja bisa memberikan efek beruntun yang membuat status Gibran sebagai Capres goyah dan harus segera diganti oleh Koalisi Indonesia Maju yang dikomandoi Prabowo.
Akankah MKMK mampu membuat Putusan tegas, berani dan bisa menyelesaikan semua kontroversi yang berkecamuk di tengah2 masyarakat atau cukup sekedar teguran yang tak berdampak apa2 terhadap penegakkan sistem dan aturan politik yang bebas dari nuansa nepotisme dan dinasti tersebut?
TEGAKKAN HUKUM & DEMOKRASI
Karut-marut dan kontroversi Putusan MK terkait usia Capres-Cawapres yang kental dengan nuansa dinasti dan nepotisme itu harus segera diakhiri. Penegakkan aturan hukum terkait demokrasi dan kemandirian kehakiman yang bebas dari intervensi kekuasaan adalah harga mati.
Demokrasi adalah sistem politik yang menghormati, mendengarkan dan melaksanakan amanah hati nurani mayoritas rakyat melalui penyampaian suara via Pemilu dan Pilpres. Pejabat negara yang terpilih secara demokratis, wajib menjalankan amanah rakyat tersebut secara konsisten dan konsekwen.
Penyalahgunaan kekuasaan, apalagi kekuasaan kehakiman yang mandiri, bebas, independen dan steril dari campur tangan pihak manapun adalah awal kehancuran penegakkan sistem demokrasi dan hukum sebagaimana dicita-citakan oleh para “Founding Fathers” kita melalui pembukaan UUD 1945. Negeri ini harus dikelola berdasarkan hukum (rechtstaat) bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat). Hal ini diatur jelas dan tegas dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara alias “grundnorm”.
Kita berharap MKMK bisa mengembalikan muruah MK sebagai benteng penegakkan demokrasi dan hukum yang adil, objektif, mandiri, independen dan steril dari intervensi kekuasaan manapun.
Konsep “Trias Politika” sebagaimana digagas Montesquieu di abad era Renaisance harus selalu menjadi acuan utama dalam bernegara. Masing2 kekuasaan dalam konsep “Trias Politika” harus mandiri dan saling melengkapi dalam menjalankan tugas kenegaraan, bukan terkooptasi atau dikooptasi oleh salah satu dari ketiga pilar tersebut.
Parlemen sebagai perwujudan Legislatif harus menjalan fungsi kontrol terhadap Eksekutif, bukan menjadi bagian subordinasi. Begitu pula lembaga Yudikatif, harus bebas intervensi kekuasaan manapun dan mampu membuat Putusan yang adil, baik, benar, jujur dan terbuka, agar sesuai dan segaris dengan logika publik.
Demokrasi dan Hukum di negeri ini tak akan pernah berjalan sesuai harapan, jika salah satu pilar kekuasaan dari sistem “Trias Politika” tersebut mempunyai “power beyond the rules” yang berefek kepada “abuse of power” sebagaimana disampaikan Pakar Sejarah Politik Inggeris Lord Acton: “Power tend to corrupt, absolutely power tend to absolutely corrupt.”
“Waktu adalah keadilan yang menguji mereka yang bersalah.” – Anonim
Bekasi, 01 November 2023
Komentar