SEGALA sesuatu harus ditimbang manfaat dan mudaratnya. Lebih banyak manfaat atau mudaratnya? Jika lebih banyak manfaatnya, laksanakan. Sebaliknya, jika lebih banyak mudaratnya, jangan nekat. Tentu saja yang dimaksud manfaat dan mudarat di sini adalah buat bangsa dan negara, bukan buat individu, kelompok atau golongan tertentu.
Pun, dalam hukum ada asas yang disebut kemanfaatan hukum, yakni prinsip penting dalam penegakan hukum yang menekankan bahwa penerapan hukum harus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, bukan hanya sekadar memenuhi formalitas hukum.
Asas ini menjadi pertimbangan penting dalam penegakan hukum, selain keadilan dan kepastian hukum.
Begitu pun soal usulan “impeachment” atau pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden RI.
Diketahui, beberapa hari lalu Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap judicial review (uji materi) Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sesungguhnya, syarat pemakzulan presiden/wapres sudah diatur dalam konstitusi, khususnya Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Jika alasannya adalah Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 dinilai melanggar hukum acara MK dan UU Kekuasaan Kehakiman, maka sesungguhnya hal tersebut sudah dianggap selesai dengan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) No 02/MKMK/L/11/2023 yang menjatuhkan sanksi pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK setelah terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim dalam pengambilan keputusan Perkara No 90/PUU/XXI/2023 tentang batas usia minimal capres/cawapres.
Putusan MK 90/2023 itu memuat perubahan syarat usia minimal capres/cawapres dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Putusan tersebut sudah final dan mengikat serta harus dihormati oleh seluruh warga negara Indonesia, sesuai dengan asas hukum “res judicata pro veritate habetur” (sesuatu yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar).
Asas ini mengaskan bahwa putusan hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan.
Asas ini juga menempatkan putusan pengadilan sebagai kebenaran hukum yang berlaku hingga ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang membatalkan atau mengubahnya. Sayangnya tidak ada lagi lembaga peradilan yang lebih tinggi dari MK.
Putusan tersebut menjadi pintu masuk bagi putra sulung Presiden ke-7 RI Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres pendamping capres Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Meskipun Anwar Usman dikenai sanksi berat berupa pemberhentian dari jabatan Ketua MK, namun Putusan MK 90/2023 tetap berlaku karena bersifat final dan mengikat (final and bidding). Bahkan MKMK pun tak bisa membatalkan putusan MK yang final dan mengikat itu.
Pun, polemik pencalonan Gibran juga sudah dianggap selesai ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerima pendaftaran Prabowo-Gibran dan mengesasahkannya sebagai capres-cawapres peserta Pilpres 2024.
Tidak itu saja. MK juga telah menolak gugatan hasil Pilpres 2024 yang diajukan dua pasangan capres-vawapres lainnya, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
KPU juga telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024-2029.
Penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.
Apakah Gibran terbukti telah melakukan pengkhianatan terhadap negara sehingga bisa dimakzulkan?
Saya kira tidak.
Apakah Gibran telah terbukti terlibat korupsi dan penyuapan sehingga bisa dimakzulkan? Saya kira perlu pembuktian.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang sudah beberapa kali menerima laporan dugaan korupsi dan gratifikasi atas nama Gibran. Tapi sejauh ini KPK belum membuktikannya.
Apakah Gibran telah melakukan perbuatan tercela, misalnya terbukti sebagai pemilik akun Fufufafa yang banyak menyerang Prabowo? Sejauh ini Polri juga belum membuktikannya.
Alhasil, sejauh ini belum cukup alasan secara yuridis bagi MPR untuk memakzulkan Gibran. Apalagi proses pemakzulannya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B UUD 1945, tidaklah mudah.
Secara politik juga akan sulit, karena MPR saat ini kursi mayoritas dikuasai Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang mendukung Prabowo-Gibran.
Hanya satu fraksi yang tidak secara resmi menyatakan dukungan kepada Prabowo-Gibran, yakni PDI Perjuangan. Plus Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang belum jelas dukungannya ke mana.
Apakah Gibran tidak lagi memenuhi syarat sebagai wapres, misalnya kinerjanya dianggap rendah?
Masih terlalu dini untuk menilai performa Gibran.
Apalagi sistem presidensiil seperti yang dianut Indonesia meniscayakan wapres cukup menjadi “ban serep” saja. Sebab, wapres tak bisa mengambil keputusan.
Tidak ada keputusan wapres. Yang ada keputusan presiden.
Justru akan berbahaya jika wapres terlalu menonjol, karena akan menimbulkan “matahari kembar” di pemerintahan.
Lantas, jika memakzulkan Gibran, apa manfaat dan mudaratnya? Lebih banyak mana?
Manfaatnya saya kira tidak banyak. Yakni, sekadar memuaskan dahaga lawan-lawan politik Prabowo-Gibran.
Jika Gibran diganti dengan sosok lain, juga belum tentu kinerja wapres baru nanti akan lebih baik daripada Gibran, terutama karena belum tentu ada “cemistry” atau kesenyawaan dengan Prabowo.
Adapun mudaratnya sepertinya akan lebih banyak. Pertama, sepertinya Indonesia akan membiasakan pergantian pemimpin di tengah jalan, mulai dari Soeharto ke BJ Habibie, dari Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekarnoputri, hingga entah nanti dari Gibran ke siapa.
Kedua, kohesi bangsa ini bisa jadi akan terpecah-belah. Sebab parpol-parpol dan relawan-relawan yang mendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 tentu tak akan tinggal diam. Mereka mungkin akan melawan.
Bila pendapat ini dikemukakan, bukan berarti saya melakukan pemihakan. Kita hanya ingin mendudukkan persoalan pada proporsi yang semestinya.
Lantas, jika memakzulkan Gibran, apa manfaat dan mudaratnya? Lebih banyak mana?
Manfaatnya saya kira tidak banyak. Yakni, sekadar memuaskan dahaga lawan-lawan politik Prabowo-Gibran.
Jika Gibran diganti dengan sosok lain, juga belum tentu kinerja wapres baru nanti akan lebih baik daripada Gibran, terutama karena belum tentu ada “cemistry” atau kesenyawaan dengan Prabowo.
Adapun mudaratnya sepertinya akan lebih banyak. Pertama, sepertinya Indonesia akan membiasakan pergantian pemimpin di tengah jalan, mulai dari Soeharto ke BJ Habibie, dari Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekarnoputri, hingga entah nanti dari Gibran ke siapa.
Kedua, kohesi bangsa ini bisa jadi akan terpecah-belah. Sebab parpol-parpol dan relawan-relawan yang mendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 tentu tak akan tinggal diam. Mereka mungkin akan melawan.
Bila pendapat ini dikemukakan, bukan berarti saya melakukan pemihakan. Kita hanya ingin mendudukkan persoalan pada proporsi yang semestinya.
Kebenaran dan keadilan akan mencari jalannya sendiri. Cepat atau lambat, kebenaran dan keadilan akan menuju mereka yang benar dan mereka yang berhak menerima keadilan.
Adapun soal usulan agar Gibran dimakzulkan, hal itu sah-sah saja di negara demokrasi seperti Indonesia.
Akan tetapi tak wajib dilaksanakan. Harus kita timbang dulu manfaat dan mudaratnya, dan yang paling penting pemakzulan jangan sampai bertentangan dengan konstitusi, karena hal itu akan sangat membahayakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh : Praktisi Hukum dan Akademisi Universitas Krisnadwipayana, Dr Anwar Budiman SH MH,
Komentar