GAZA, PALESTINA — Asap hitam masih menggantung di langit Zeitoun dan Sabra. Bau mesiu bercampur debu reruntuhan menjadi udara sehari-hari bagi warga yang masih bertahan. Di balik dinding bangunan yang hancur, jeritan meminta tolong sesekali terdengar, namun seringkali berakhir senyap.
Sejak 6 Agustus lalu, Israel menggencarkan invasi darat ke Kota Gaza. Pertahanan Sipil Palestina mencatat lebih dari 1.000 bangunan di kedua lingkungan itu sudah rata dengan tanah. Bagi warga, angka itu bukan sekadar statistik—itu berarti rumah, toko, sekolah, dan tempat berlindung yang lenyap.
“Banyak orang masih terjebak di bawah puing-puing. Kami menerima ratusan laporan orang hilang setiap harinya, tapi tim tidak bisa menembus lokasi karena serangan tak berhenti,” ujar seorang relawan Pertahanan Sipil dengan suara parau.
Rumah sakit pun tak lagi sanggup menampung korban. Di ruang gawat darurat, lorong-lorong dipenuhi pasien berlumuran darah. Dokter harus memilih siapa yang lebih dulu diberi perawatan. Di luar gedung, keluarga korban menangis histeris, sebagian masih menunggu kabar anggota keluarga yang belum ditemukan.
“Tidak ada wilayah aman di Jalur Gaza,” demikian pernyataan resmi Pertahanan Sipil. “Baik utara maupun selatan, penembakan terus menargetkan rumah, tempat penampungan, bahkan kamp pengungsian.”
Tank-tank Israel kini sudah masuk ke wilayah Sabra, memperkuat kekhawatiran bahwa Kota Gaza akan bernasib sama dengan Rafah: luluh lantak, dan warganya diusir ke selatan. Hampir satu juta penduduk telah dipaksa mengungsi, meninggalkan kota yang bagi sebagian besar dari mereka adalah satu-satunya tempat tinggal seumur hidup.
Namun, meski bom dan roket menghantam tanpa henti, kehidupan mencoba bertahan. Di sebuah jalan kecil di dekat al-Jalaa, seorang anak tampak menggenggam boneka lusuhnya, sementara tubuh ibunya ditutupi kain putih. Tiga orang, termasuk anak itu, tewas di apartemen yang baru saja diserang.
Ledakan terus bergema di kejauhan, dari Zeitoun hingga kamp Jabalia yang kini nyaris tak tersisa. Gaza seakan dibiarkan sekarat, bukan hanya oleh runtuhnya bangunan, tapi juga oleh kelaparan yang telah melanda wilayah itu berminggu-minggu.
Di tengah semua itu, hanya satu hal yang belum hancur: harapan. Harapan keluarga yang masih mencari kerabatnya di bawah puing-puing. Harapan anak-anak yang masih berbisik tentang sekolah dan bermain bebas di jalan tanpa takut serangan. Harapan agar Gaza, meski dibombardir, tidak pernah benar-benar hilang dari peta maupun dari ingatan dunia. (**)
Komentar