oleh

Agar Tak Ada Lagi “Staycation” di Perusahaan, Dr. Anwar Budiman : Hapus Outsourching!

-HUKUM-470 BACA

KABUPATEN BEKASI – Kasus “staycation” atau “tidur bareng bos” demi memperpanjang kontrak kerja menjadi fenomena akhir-akhir ini, terutama di kota-kota industri seperti Bekasi, Jawa Barat, dan mungkin saja di daerah-daerah lainnya.

Di Bekasi, bahkan seorang karyawati yang menolak diajak tidur bersama bos melaporkan manajer perusahaannya ke Polres Metro Bekasi, Sabtu (6/7/2023). Karyawati yang masa kontraknya hampir habis ini bekerja di sebuah pabrik kosmetik di kawasan Jababeka, Cikarang, namun ia menolak diajak tidur bareng manajernya untuk memperpanjang kontrak kerja.

Kasus yang menghebohkan ini tak luput dari sorotan pakar hukum ketenagakerjaan Dr Anwar Budiman SH MH. Ia menilai, kasus ini berhulu pada tidak seimbangnya perjanjian kerja atau kontrak antara pekerja dan perusahaan.

“Perjanjian kerja seharusnya mencerminkan keadilan atau keseimbangan untuk para pihak. Perjanjian kerja tidak boleh berat sebelah, apalagi perjanjian kerja dapat diartikan sebagai pertukaran hak dan kewajiban dari para pihak,” kata Anwar Budiman.

Perjanjian kerja, kata Anwar, semestinya sesuai dengan tujuannya, yaitu membawa kemanfaatan dan keadilan bagi yang membuatnya, yakni antara pekerja dan perusahaan. Namun dalam kenyataannya, kata Anwar, banyak yang jauh panggang dari api, antara “das sollen” dan “das sein” tidak sejalan.

“Hal ini terjadi karena tidak seimbangnya kedudukan pengusaha dengan pekerja, di mana secara sosioekonomi pengusaha mempunyai kemampuan tinggi, sedangkan pekerja dalam kemampuan kurang menguntungkan,” cetus Anwar yang dikenal sebagai “singa perburuhan” ini.

Dengan semakin banyaknya tenaga kerja yang tersedia, sedangkan lapangan pekerjaan sangat terbatas, maka kata Anwar masalah kesimbangan dalam perjanjian kerja ini sering tidak ditemukan.

“Oleh karena itu untuk membatasi tindakan dari salah satu pihak yang mempunyai kemampuan lebih tinggi dari yang lainnya, maka negara harus turut campur agar segala transaksi dapat berjalan baik meskipun tidak bisa memuaskan semua pihak. Salah satunya melalui dibentuknya peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan,” jelasnya.

Sayangnya, kata Anwar, undang-undang ketenagakerjaan yang ada di Indonesia saat ini kurang menguntungkan para pekarja. Dosen hukum tata negara Program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Jakarta, ini kemudian merujuk Pasal 64 Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang tidak menguntungkan pekerja.

Pasal 64 tersebut, jelas Anwar, berisi ketentuan mengenai tenaga alih daya atau biasa dikenal dengan istilah “outsourcing”. “Hal ini mengkhawatirkan untuk kalangan kelas pekerja yang akan menjadi buruh kontrak selamanya. Pasalnya, definisi tenaga alih daya batasannya baru akan ditetapkan melalui peraturan pemerintah,” terang Anwar.

Pun, lanjut Anwar, Pasal 59 UU Cipta Kerja mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang ternyata kurang memberikan kepastian hukum karena bersifat multitafsir dalam pelaksanaannya yang pada akhirnya dapat mengakibatkan praktik-praktik yang menyimpang.

Diketahui, DPR RI telah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU) dalam Rapat Paripurna DPR RI di Senayan, Jakarta, 21 Maret 2023. Beleid ini kemudian diundangkan menjadi UU No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

“Nah, celah ini yang dimanfaatkan oknum-oknum pimpinan perusahaan nakal untuk ‘staycation’ saat pekerja menjelang habis masa kontraknya,” tegas Anwar.

Sebab itu, kata Anwar, untuk mengatasi masalah ini pemerintah dan aparat penegak hukum harus bertindak. “Pemerintah melalui Dinas Ketenagakerjaan harus terus mengawasi pelaksanaan perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan. Aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi, harus bertindak tegas dengan memproses laporan yang sudah dilayangkan karyawati,” pinta Anwar.

Solusi jangka panjang, kata Anwar, pemerimtah dan DPR RI harus merevisi UU No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, khususnya Pasal 64 supaya tidak ada lagi pekerja dengan status alih daya atau “outsorcing” yang akan menjadi pekerja kontrak selama bekerja. “Jika tidak, jangan harap kasus ‘staycation’ ini akan berhenti. Sebab ada peluang di sana, dan itu sejak dari hulunya, yakni UU Cipta Kerja,” paparnya.

“Jadi, untuk mengatasi kasus ‘tidur bareng bos’ tidak hanya tindakan represif, dalam hal ini penegakan hukum yang diperlukan, tetapi juga tindakan preventif dan korektif dari eksekutif dan legislatif dengan merevisi pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang tidak berpihak pada pekerja. Intinya, kasus ‘staycation’ harus diatasi sejak dari hulu hingga hilir,” tandasnya. (**)

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed