oleh

Wajah Perpolitikan Kita : Taat Hukum, Namun Nir-Etika

-EKBIS-282 BACA

Barangkali saja orang akan mengingat tulisanku ini, akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik.” – Pramoedya Ananta Toer

Gaya berpolitik kaum elite negeri ini menampakkan wajah kontradiktif yang membingungkan. Disatu sisi memperlihatkan ketaatan atas aturan hukum yang berlaku. Namun disisi lain mengesamping etika dan keadaban nurani yang beradat ketimuran. Sepanjang tak melanggar aturan hukum positif, apapun sah2 saja dilakukan, walaupun merusak tatanan etika, moralitas dan keadaban yang berlaku di masyarakat.

Dimulai dari otak-atik aturan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) agar Gibran bisa lolos menjadi Cawapres. Jelas2 pada aturan UU yang berlaku menyebutkan bahwa minimal usia Capres-Cawapres adalah 40 tahun, namun demi kepentingan dinasti politik yang interventif, dilakukan perubahan dengan menambahkan klausul “pernah/sedang menjadi Kepala Daerah (Gubernur/Walikota/Bupati)”.

Dengan “memperalat” MK melalui anggota keluarga yang sedang menjabat sebagai Ketua MK, walhasil Gibran yang masih “mentah” dalam dunia perpolitikan dan pemerintahan ini bisa melenggang nyaman diatas “karpet merah” menjadi Cawapres Prabowo.

Dengan putusan “Blunder” di MK tersebut,  Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) telah menjatuhkan putusan yang sangat mendasar kepada sejumlah Hakim MK termasuk Paman Gibran – Anwar Usman, yakni melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

Walhasil, MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. Kemudian, Anwar Usman tidak berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya berakhir. Anwar juga tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.

Dengan putusan MK yang sudah “final & binding” tersebut, Gibran langsung tancap gas bersama Prabowo menjadi Capres-Cawapres. Penjatuhan sanksi kepada Ketua MK dan sejumlah Hakim MK lainnya yang dinyatakan telah melanggar muruah kehormatan, etika dan keadaban dalam memutuskan suatu perkara hukum, tak berpengaruh sama sekali dengan pencalonan Gibran sebagai Cawapres.

Gibran menjadi Cawapres sudah sah dan “legitimate” secara prosedur hukum yang berlaku. Disisi lain, pemberian sanksi oleh MKMK atas putusan yang meloloskan Gibran sebagai Cawapres adalah dimensi lain yang tak ada keterkaitan pengaruh terhadap putusan MK yang sudah dikeluarkan.

Disini bisa kita tarik simpul logikanya bahwa urusan hukum adalah hal yang terpisah secara tegas dengan etika, moralitas dan keadaban, walaupun putusan hukum itu telah jelas2 melanggar etika, moralitas dan keadaban yang berlaku di masyarakat. Hal ini terus menjadi preseden dan dijadikan strategi politik kaum Politisi yang pragmatis demi mengejar kekuasaan di negeri ini.

ROBOHNYA ETIKA BERPOLITIK

Konsep dan strategi mengejar kekuasaan ala Machiavellian telah makin menggejala dalam dunia perpolitikan di negeri ini. Bagi kaum pemegang kekuasaan (incumbent), mereka hanya berpatokan kepada “tak adanya aturan hukum yang dilanggar” dalam setiap membuat kebijakan dan implementasi di lapangan. Tak peduli terkadang bahkan sering aturan hukum yang “legal formal” itu tak sesuai dengan etika budaya moralitas bahkan logika-rasional yang berlaku di masyarakat.

Salah satu contoh yang “mengganggu” akal sehat dan merusak tatanan sistem demokrasi adalah kasus Kaesang yang baru sehari menjadi Anggota PSI, esoknya langsung didapuk menjadi Ketua Umum PSI tanpa adanya proses Munas atau Munaslub atau prosedur lumrah dalam sebuah organisasi normal. Preseden ini (mungkin) secara prosedural di internal Partai tak ada pelanggaran. Namun, publik pasti melihatnya sebagai sebuah proses janggal yang mengkhianati akal sehat. Apalagi hal ini terjadi pada anak Presiden. Apakah model ini bisa berlaku untuk anak bukan Presiden?

Berikutnya pernyataan Presiden Jokowi yang plin-plan terkait dengan netralitas Pejabat Negara dalam Pemilu dan Pilpres 2024. Pada awalnya beliau menyatakan Pejabat Negara, ASN, TNI & Polri harus netral alias tak boleh “cawe2” ke salah satu Parpol Peserta Pemilu dan Capres-Cawapres. Namun beberapa lama setelah itu, beliau tanpa ragu dan penuh percaya diri didepan para wartawan mengatakan bahwa Presiden dan Pejabat Negara boleh memihak dan berkampanye.

Hal ini sungguh sangat membingungkan publik. Bagaimana mungkin seorang Pemimpin Negara (dipilih rakyat dan harus amanah) bisa membuat “statement2” yang kontradiktif dan mengganggu ketenangan & stabilitas politik menuju Pemilu & Pilpres 2024?

Pernyataan Presiden yang sangat kontroversial tersebut tentu akan sangat berpengaruh kepada sikap dan tindakan Para Pejabat Negara sampai level terbawah. Apalagi begitu banyak Pejabat Gubernur, Bupati dan Walikota sudah diangkat langsung oleh Presiden, tentu akan mengikuti langkah2 Presiden yang akan memporak-porandakan sistem dan mekanisme Pemilu & Pilpres 2024 yang harusnya jujur, terbuka, adil dan bersih.

Kita patut prihatin dan sangat kecewa dengan “permainan politik” kaum elite yang berkuasa, telah melakukan manuver2 politik nir-etika demi melanjutkan kekuasaannya.

Penyalahgunaan kekuasaan oleh Pejabat berkuasa yang diamanahkan dan diberikan mandat oleh rakyat melalui Pemilu dan Pilpres adalah sebuah pengkhianatan terhadap kepercayaan mulia yang muncul dari hati nurani terdalam rakyat. Kecenderungan penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan untuk keberlanjutan kekuasaan, sungguh tindakan2 yang merusak sistem dan mekanisme demokrasi.

Berpolitik yang memperalat hukum demi kekuasaan, adalah tindakan nyeleneh yang tak mempedulikan suara2 yang berkembang ditengah-tengah masyarakat.

Bagaimana negeri ini bisa maju, sejahtera, adil dan makmur, jika proses dan mekanisme politik telah “dibajak” dengan cara kotor yang menisbikan nilai2 etika, moralitas dan keadaban?

Filosofi Pancasila mengajarkan dan mengingatkan kita untuk selalu bersikap dan bertindak sesuai norma2 agama yang anti kecurangan dan kejahatan (Sila 1), menghormati hak2 dan aspirasi rakyat (Sila 2), menjaga stabilitas politik dan Persatuan (Sila 3), tetap menjunjung tinggi nilai2 kebersamaan dan musyawarah (Sila 4) dan  berlaku adil dan jujur walaupun berkuasa (Sila 5).

Nilai2 Pancasila diatas makin menjauh dalam tataran implementasi perpolitikan di negeri ini. Gaung Pancasila pun sudah jarang terdengar di depan publik.

Pancasila sebagai filosofi dasar negara yang sangat ideal dan mulia, hanya tinggal sebatas norma2 konstitusional. Kita sudah banyak lupa dengan nilai2 mulia yang diciptakan para “Founding Fathers” tahun 1945.

Kita telah “makin terbenam” ke “sumur” kemarukan kekuasaan yang memarjinalkan nilai2 etika, moralitas, kepatutan dan keadaban  yang menjadi budaya luhur bangsa. Kaum elite politik itu lupa, “hidup hanya sekali, sesudah itu mati”.

Tak ada yang bisa dibawa setelah mati, selain jasad dan kebaikan yang memberikan kenangan terhormat pewaris bangsa sampai anak cucu kita. Kita butuh Politisi2 berkarakter Negarawan yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara dibanding kepentingan pribadi dan kelompok. Bisa dibayangkan, jika budaya politik nir-etika makin menjadi “gaya hidup” Para Politisi bangsa, akan dibawa kemana negeri ini? Quo Vadis Politik dan masa depan Indonesia?

Bekasi, 27 Januari 2024

Dr. Yosminaldi, SH.MM

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed